Pembahasan tentang metafor tidak akan cukup memadai tanpa menyertai pembahasan tentang analogi. Metafor dan analogi merupakan konsep "relasional" , memiliki sejarah sejak awal manusia bernalar, khususnya secara filosofis. Metafor sebagai konsep relasional menunjuk sebuah objek untuk menerangkan sebuah gagasan yang masih butuh tapak kaki.
Analogi sebagai konsep relasional lebih menekankan “kemiripan” (similarity) antara paling tidak dua jenis unsur yang berjarak. Metafor dan analogi muncul dari wilayah jelajah bahasa untuk berusaha memahami hubungan antara pikiran dengan realita.
Filsuf pre-socrates, herakleitos, tercatat filsuf awal yang mencari hubungan pikiran dengan realitas yang ditemukannya pada bahasa (logos). Polarisasi dalam realitas (alam) seperti panas-dingin, terang-gelap, basah-kering, dan lain-lain hanya tertangkap dan terkonsep oleh bahasa. Herakleitos dengan melihat pada model bahasa mencari kemungkinan adanya relasi dari polarisasi realitas tersebut. Relasi atas polarisasi menyadarkan kita pada adanya sebuah proses (bagaimana) bukan hanya sebatas pada “apa adanya” (“onto”, bah yunani).
Konsep analogi membuka lebar pintu ontologi dan proses bagaimana pengetahuan (epistemologi) itu mungkin (tentang pikiran dan realitas). Bagi filsuf lainnya, parmenides, berbeda pandang, baginya sebuah polarisasi tidak memiliki kemiripan untuk berinteraksi. Why? Bagi parmenides, “yang ada” adalah ada, “yang tidak ada” ya tidak ada. Mau senggol-senggolan? Tidak mungkin! Haram jadah punya deh tuh..beuuh.
Polarisasi substansial, ada dan tidak ada itu, memiliki energi penggerak membuka diri dan menjelma “menjadi” (becoming). Ajaran herakleitos yang sangat terkenal tentang “menjadi” ini: “semuanya mengalir” (pantharei) dan jelas berubah karenanya. Sementara pythagoras mencari analogi antara bunyi dengan planet-planet yg sukses besar menciptakan tangga nada (musik) lewat model matematika. Polarisasi pada parmenides dan herakleitos menjadi legacy yang siknifikan bagi plato sebagai doktrin-doktrin dunia; “dunia ide” dan “dunia materi.
Dalam model “dialog”, plato pada hematnya menggunakan pikiran analogis, dan sebagai seorang idealis, ia lebih mengistimewakan dunia tetap. Pada aristoteles analogi membangun logika, cara bernalar berawal dari kesadaran akan ada yg tetap dan unsur-unsur empirik yang berbeda. Dengan kesadaran tersebut, aristoteles menyusun argumen dimulai dengan membangun apa yang disebutnya “kategori”; kuantitas, kualitas, relasi, dan sebagainya.
Dalam logika aristoteles, analogi diterjemahkan sebagai relasi antara subjek dengan predikat sebuah kalimat logis (proposisi). Tidak mungkin menyusun sebuah kalimat (premis) jika tidak ada relasi antara subjek dengan predikat maka peran analogi di sini berlaku niscaya. Lebih tak mungkin lagi kita membuat kesimpulan valid dari proposisi-proposisi yang kita bangun jika tidak memiliki relasi satu sama lainnya.
Proposisi-proposisi a:b = c:d menunjukkan adanya analogi untuk membuahkan kesimpulan, sebagaimana kita belajar rumus warisan matematika phytagoras. Soal bilangan: 1, 2, 12, 3, dan seterusnya, adalah analogi yang so simple dalam matematika. Secara lingustik, analogi sabagai kemiripan bunyi (fonologi), relasi subjek-predikat (sintaksis), makna (semantik), komunikasi (pragmatisme).
Berpikir analogis sebenarnya sudah muncul saat manusia menyadari akan potensi indrawiahnya, melihat, mendengar, merasakan, dan lain-lain. Secara visual anak-anak mulai diperkenalkan analogi lewat gambar dan suka disertai dengan kalimat: ini ibu budi, ini bapak budi, ini kakak budi. Lewat contoh visual seperti itu sebenarnya anak-anak secara tak langsung sudah dibekali oleh model proses kognisi analogis.
Apakah analogi bisa dianggap sebagai problem solving? Tidak jarang kita memecahkan suatu problem/teka-teki dengan analogi. Hukum archimedes tak lain merupakan sebuah pemecahan masalah dgn cara berpikir analogis. Copernicus, galileo-galilei memecahkan hukum heliosentris dan geosentris dengan berpikir analogis tentang komos, menemukan jupiter, venus, dan lain-lain. Namun analogi adalah polarisasi relasionistik yang tak bisa dipastikan secara definitif karena bukanlah hakekat, bukan “hukum identik”.
Metafor dan analogi dibutuhkan untuk suatu “jarak-kedekatan”, aku-kamu, kami-kita, adalah relasi kedekatan bukan identik. Metafor dan analogi bisa menyadarkan: kita adalah kosmos bukan “kesatuan-universal” namun “kesatuan-kemiripan”, tak mungkin benar-benar sama/satu. Metafor dan analogi merupakan model “menjadi”, terus berjalan, nomaden, proses kognisi yang terus gelisah, menggeliat, resah. Metafor dan analogi hadir di mana-mana dan pada siapa saja ketika mulai merenung. Metafor dan analogi..hmmmm.....Bersambuuung........................:-)
Analogi sebagai konsep relasional lebih menekankan “kemiripan” (similarity) antara paling tidak dua jenis unsur yang berjarak. Metafor dan analogi muncul dari wilayah jelajah bahasa untuk berusaha memahami hubungan antara pikiran dengan realita.
Filsuf pre-socrates, herakleitos, tercatat filsuf awal yang mencari hubungan pikiran dengan realitas yang ditemukannya pada bahasa (logos). Polarisasi dalam realitas (alam) seperti panas-dingin, terang-gelap, basah-kering, dan lain-lain hanya tertangkap dan terkonsep oleh bahasa. Herakleitos dengan melihat pada model bahasa mencari kemungkinan adanya relasi dari polarisasi realitas tersebut. Relasi atas polarisasi menyadarkan kita pada adanya sebuah proses (bagaimana) bukan hanya sebatas pada “apa adanya” (“onto”, bah yunani).
Konsep analogi membuka lebar pintu ontologi dan proses bagaimana pengetahuan (epistemologi) itu mungkin (tentang pikiran dan realitas). Bagi filsuf lainnya, parmenides, berbeda pandang, baginya sebuah polarisasi tidak memiliki kemiripan untuk berinteraksi. Why? Bagi parmenides, “yang ada” adalah ada, “yang tidak ada” ya tidak ada. Mau senggol-senggolan? Tidak mungkin! Haram jadah punya deh tuh..beuuh.
Polarisasi substansial, ada dan tidak ada itu, memiliki energi penggerak membuka diri dan menjelma “menjadi” (becoming). Ajaran herakleitos yang sangat terkenal tentang “menjadi” ini: “semuanya mengalir” (pantharei) dan jelas berubah karenanya. Sementara pythagoras mencari analogi antara bunyi dengan planet-planet yg sukses besar menciptakan tangga nada (musik) lewat model matematika. Polarisasi pada parmenides dan herakleitos menjadi legacy yang siknifikan bagi plato sebagai doktrin-doktrin dunia; “dunia ide” dan “dunia materi.
Dalam model “dialog”, plato pada hematnya menggunakan pikiran analogis, dan sebagai seorang idealis, ia lebih mengistimewakan dunia tetap. Pada aristoteles analogi membangun logika, cara bernalar berawal dari kesadaran akan ada yg tetap dan unsur-unsur empirik yang berbeda. Dengan kesadaran tersebut, aristoteles menyusun argumen dimulai dengan membangun apa yang disebutnya “kategori”; kuantitas, kualitas, relasi, dan sebagainya.
Dalam logika aristoteles, analogi diterjemahkan sebagai relasi antara subjek dengan predikat sebuah kalimat logis (proposisi). Tidak mungkin menyusun sebuah kalimat (premis) jika tidak ada relasi antara subjek dengan predikat maka peran analogi di sini berlaku niscaya. Lebih tak mungkin lagi kita membuat kesimpulan valid dari proposisi-proposisi yang kita bangun jika tidak memiliki relasi satu sama lainnya.
Proposisi-proposisi a:b = c:d menunjukkan adanya analogi untuk membuahkan kesimpulan, sebagaimana kita belajar rumus warisan matematika phytagoras. Soal bilangan: 1, 2, 12, 3, dan seterusnya, adalah analogi yang so simple dalam matematika. Secara lingustik, analogi sabagai kemiripan bunyi (fonologi), relasi subjek-predikat (sintaksis), makna (semantik), komunikasi (pragmatisme).
Berpikir analogis sebenarnya sudah muncul saat manusia menyadari akan potensi indrawiahnya, melihat, mendengar, merasakan, dan lain-lain. Secara visual anak-anak mulai diperkenalkan analogi lewat gambar dan suka disertai dengan kalimat: ini ibu budi, ini bapak budi, ini kakak budi. Lewat contoh visual seperti itu sebenarnya anak-anak secara tak langsung sudah dibekali oleh model proses kognisi analogis.
Apakah analogi bisa dianggap sebagai problem solving? Tidak jarang kita memecahkan suatu problem/teka-teki dengan analogi. Hukum archimedes tak lain merupakan sebuah pemecahan masalah dgn cara berpikir analogis. Copernicus, galileo-galilei memecahkan hukum heliosentris dan geosentris dengan berpikir analogis tentang komos, menemukan jupiter, venus, dan lain-lain. Namun analogi adalah polarisasi relasionistik yang tak bisa dipastikan secara definitif karena bukanlah hakekat, bukan “hukum identik”.
Metafor dan analogi dibutuhkan untuk suatu “jarak-kedekatan”, aku-kamu, kami-kita, adalah relasi kedekatan bukan identik. Metafor dan analogi bisa menyadarkan: kita adalah kosmos bukan “kesatuan-universal” namun “kesatuan-kemiripan”, tak mungkin benar-benar sama/satu. Metafor dan analogi merupakan model “menjadi”, terus berjalan, nomaden, proses kognisi yang terus gelisah, menggeliat, resah. Metafor dan analogi hadir di mana-mana dan pada siapa saja ketika mulai merenung. Metafor dan analogi..hmmmm.....Bersambuuung........................:-)
Bagi yang ingin berdiskusi ilmu filsafat sila mention ke akun twitter beliau @tommyfawuy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar