Berikut merupakan cerita dari Tukang Kunci di Palmerah seputar Standar ganda yang dilakukan oleh Kubu Damarwulan cs
Mbah Jendral Kado sekarang bisa tidur nyenyak. Operasi wur-wur alias sebar recehan dan obral janji manis ke aktifis-aktifis KURAP berakhir dengan sukses. Dia sudah melapor ke Damarwulan, bahwa suara-suara sumbang yang ungkit-ungkit kasus Hampimpah sudah berhasil disumpal dengan sukses. Zaman dulu, menyumpal mulut orang itu dengan gombal atau kain. Zaman sekarang cukup dengan kertas. Asal kertasnya bisa dituker beras dan ciu. Operasi dengan kode TRF itu sudah berhasil menjinakkan aktifis pipi tembem yang dulu radikal, sehingga sekarang ia bilang: berpolitik harus mau menerima sesuatu yang tidak ideal. Artinya, mau Mbah Kado mau Mbah Ngendi ayo saja, asal urusannya jelas. Mirip banci taman lawang, tapi tanpa slogan kena gigi uang kembali.
Penggalangan penolakan melalui sosmed hanya untuk menyelamatkan muka para aktifis itu, seolah-olah mereka melawan. Kalo benar-benar menolak, kenapa tidak dari dulu? Kalo alasannya untuk taktis, kenapa orang-orang yang dulu menyoal Mbah Kado malah dibully rame-rame? Sedangkan dulu mereka membela Mbah Kado mati-matian? Slogan menolak lupa diteriakkan sembari menghitung saldo rekening. Kalo mereka juga ogah Mbah Kado, harusnya sejak dulu membiarkan siapapun yang bongkar borok Mbah Kado. Bukan malah jadi anjing herder penjaga tuannya.
Sesungguhnya, KURAP-KURAP itu aslinya bisa maklum dengan keberadaan Mbah Kado di lingkaran paling dekat Damarwulan. Sebab sebagian di antara mereka sudah dgarap jaringan Jenderal B sejak tahun 90-an. Pada tahun-tahun itu, mereka menjadi alat grup Jenderal B untuk melawan pemerintahan Mbah Piye yang semakin akomodatif terhadap kelompok Islam. Kebetulan, waktu itu Mang Dowo terlalu dekat dengan kalangan Islam, jadi dianggap musuh.
Isu Hampimpah tempo hari itu hanya untuk menjegal Mang Dowo. Karena ahli-ahli Hampimpah sedunia juga tahu, Mbah Kado, Mbah Ngendi, Mbah Welut, dan banyak lainnya semua berlumuran darah. Laporan tentang jejak berdarah Mbah Kado di lembaga-lembaga Hampimpah internasional tebalnya puluhan kali lipat dibanding laporan tentang Mang Dowo. Kalo gak percaya, Tanya Mbah Google.
Jika Damarwulan yakin Mang Dowo merasa bersalah atas suatu kasus Hampimpah, kenapa dia merasa tidak yakin bahwa Mbah Kado juga bersalah atas kasus yang lain? Apa Damarwulan juga doyan ciu? Kenapa Damarwulan bilang “katanya” dan “diduga” hanya untuk Mbah Kado, tapi bukan untuk Mang Dowo? Apa Damarwulan kena guna-guna Mbah Kado?
Kenapa kubu Damarwulan ngotot mendorong Komisi Hampimpah panggil Mang Dowo sembari melupakan bahwa Mbah Kado berkali-kali mangkir dari panggilan Komisi itu? Tentu mereka semua melakukan itu semua dengan sadar. Inilah yang disebut standar ganda. Hanya karena ngebet kuasa, lalu berpikir dan bertindak tidak adil.
Standar ganda itu cara berpikir dan bertindak khas Paman Somse. Di Indonesia, ini khas Taksebul dan jaringan-jaringannya. Mereka dengan mesin media di Kempes, Tempe, dan Metromini, meracuni publik akhir-akhir ini. Standar ganda itu, ibaratnya menyatakan, eek orang lain rasanya tidak enak, tapi eek sendiri enak rasanya. Padahal sama-sama eek.
Standar ganda lainnya dari kubu Damarwulan adalah tentang ketidakhadiran Maknyak Kabau pada ritual kebangsaan tempo hari. Mereka masih saja membela, Maknyak wajar saja tak hadir karena masih dendam dengan ki Lurah, dan itu manusiawi. Mereka bilang, Maknyak dendam kesumat seperti dalam film-film Suzana karena dikhianati Ki Lurah. Pertanyaanya, apa Maknyak waktu itu tidak memperbolehkan Ki Lurah bertanding memperebutkan posisi nomer satu? Jika jawabnya iya, berarti Maknyak tidak paham demokrasi. Lebih dari itu, Maknyak merasa bahwa hanya dia yang berhak jadi pemimpin. Pantes saja, di PT Kandang Kerbau, posisi Maknyak abadi tak tergantikan.
Orang-orang yang membela Maknyak dengan alasan dendam karena dikhianati itu, rupanya menyembunyikan fakta bahwa Maknyak mengkhianati Raja Sarungan. Sang Raja didongkel di tengah jalan. Ingat, di tengah jalan, bukan melalui pemilihan di akhir jabatan. Ingatlah bagaimana Maknyak dingin dan kasar terhadap Raja Sarungan di saat-saat pendongkelan itu. Jika ada yang saat ini membenarkan tindakan Maknyak waktu itu, pastilah dia pengikut Cak Kardus yang hobi duren, yang sekarang ikut ngintil Maknyak kemana-mana.
Ini lagi-lagi standar ganda. Ki Lurah mengalahkan dia dalam pertandingan resmi dianggap mengkhianati, sementara dia mendongkel Raja Sarungan di tengah jalan, dengan kongkalikong partai dan prajurit, tidak mau mengakui berkhianat. Standar ganda ketiga adalah bagaimana kubu Damawulan memperlakukan media. Wartawan yang jernih pasti menyimpulkan pada saat pemilu, sebagian besar media brengsek dan jadi alat politik. Tapi aktifis KURAP kubu Damarwulan hanya serang yang tidak pro Damarwulan. Ini tentu berbeda dengan pandangan mereka mengenai netralitas pada zaman-zaman dulu.
Ini bisa dimaklumi, karena mereka sendiri juga aktif jadi jurkam dab jurcot Damarwulan, baik resmi maupun tak resmi, baik berbayar maupun sukarela. Saking aktifnya mereka jurkam dan jurcot di sosmed, wartawan yang tidak dapat THR dari tempat kerjanya tidak dibela lagi oleh aktifis-aktifis KURAP. Alasannya, karena bos media yang tidak kasih THR itu adalah jurcot berbayar Damarwulan. Coba renungkan, apa iya kubu Damarwulan pro buruh? Atau jangan-jangan pro butuh? Artinya bersikap sesuai kebutuhan saja?
Masih banyak lagi standar ganda kubu Damawulan. Yang jelas-jelas di depan mata tentu laporan keuangan Damarwulan yang tidak mengikutsertakan harta yang disetor anaknya di perusahaan patungan dengan Mbah Welut. Apa iya, anak Damarwulan punya harta puluhan milyar dan lebih banyak dari bokapnya? Jawabnya hanya dua: diberi oleh ayahnya atau diberi oleh Mbah Welut. Jika diberi oleh ayahnya, berarti Damarwulan telah berbohong dengan mengaku kere. Istilah kerennya adalah sumaker (sugih macak kere). Jika diberi oleh Mbah Welut, berarti Damarwulan sebagai pejabat publik tidak bersih. Bisa saja ini dianggap suap, agar Damarwulan bisa disetir. Asal-usul duitnya juga patut diselidiki. Jika ada bau sabun bisa saja duit itu bersumber dari pencucian uang.
Mereka berkoar-koar soal laporan keuangan orang lain, tapi terhadap Damarwulan mereka tutup mata. Pokoknya apapun yang ada di Damarwulan wangi, termasuk kentutnya. Lagi-lagi standar ganda. Sebentar lagi, jika kasus odong-odong berkarat itu benar-benar mengena ke Damarwulan, mereka pasti bilang ini kasus rekayasa. Standar gandanya makin keliatan. Mereka sekarang mencoba menghapus jejak di Google bahwa Damarwulan mungkin tak kenal Bemper. Padahal, Bemper ini dulu kemana-kemana ya sama Damarwulan. Cuma di tempat tidur dan waktu eek saja mereka gak bareng-bareng. Mau ngeles kayak apapun, tetap ketahuan kalo mereka ini satu komplotan. Itulah cerita-cerita tentang standar ganda Damarwulan. Standar-standar ganda yang lain, silakan cari sendiri. Kalo maunya dipisah-pisah : standar (motor) dan (kunci) ganda, cari saja di Pasar Senen.
SEKIAN
Mbah Jendral Kado sekarang bisa tidur nyenyak. Operasi wur-wur alias sebar recehan dan obral janji manis ke aktifis-aktifis KURAP berakhir dengan sukses. Dia sudah melapor ke Damarwulan, bahwa suara-suara sumbang yang ungkit-ungkit kasus Hampimpah sudah berhasil disumpal dengan sukses. Zaman dulu, menyumpal mulut orang itu dengan gombal atau kain. Zaman sekarang cukup dengan kertas. Asal kertasnya bisa dituker beras dan ciu. Operasi dengan kode TRF itu sudah berhasil menjinakkan aktifis pipi tembem yang dulu radikal, sehingga sekarang ia bilang: berpolitik harus mau menerima sesuatu yang tidak ideal. Artinya, mau Mbah Kado mau Mbah Ngendi ayo saja, asal urusannya jelas. Mirip banci taman lawang, tapi tanpa slogan kena gigi uang kembali.
Penggalangan penolakan melalui sosmed hanya untuk menyelamatkan muka para aktifis itu, seolah-olah mereka melawan. Kalo benar-benar menolak, kenapa tidak dari dulu? Kalo alasannya untuk taktis, kenapa orang-orang yang dulu menyoal Mbah Kado malah dibully rame-rame? Sedangkan dulu mereka membela Mbah Kado mati-matian? Slogan menolak lupa diteriakkan sembari menghitung saldo rekening. Kalo mereka juga ogah Mbah Kado, harusnya sejak dulu membiarkan siapapun yang bongkar borok Mbah Kado. Bukan malah jadi anjing herder penjaga tuannya.
Sesungguhnya, KURAP-KURAP itu aslinya bisa maklum dengan keberadaan Mbah Kado di lingkaran paling dekat Damarwulan. Sebab sebagian di antara mereka sudah dgarap jaringan Jenderal B sejak tahun 90-an. Pada tahun-tahun itu, mereka menjadi alat grup Jenderal B untuk melawan pemerintahan Mbah Piye yang semakin akomodatif terhadap kelompok Islam. Kebetulan, waktu itu Mang Dowo terlalu dekat dengan kalangan Islam, jadi dianggap musuh.
Isu Hampimpah tempo hari itu hanya untuk menjegal Mang Dowo. Karena ahli-ahli Hampimpah sedunia juga tahu, Mbah Kado, Mbah Ngendi, Mbah Welut, dan banyak lainnya semua berlumuran darah. Laporan tentang jejak berdarah Mbah Kado di lembaga-lembaga Hampimpah internasional tebalnya puluhan kali lipat dibanding laporan tentang Mang Dowo. Kalo gak percaya, Tanya Mbah Google.
Jika Damarwulan yakin Mang Dowo merasa bersalah atas suatu kasus Hampimpah, kenapa dia merasa tidak yakin bahwa Mbah Kado juga bersalah atas kasus yang lain? Apa Damarwulan juga doyan ciu? Kenapa Damarwulan bilang “katanya” dan “diduga” hanya untuk Mbah Kado, tapi bukan untuk Mang Dowo? Apa Damarwulan kena guna-guna Mbah Kado?
Kenapa kubu Damarwulan ngotot mendorong Komisi Hampimpah panggil Mang Dowo sembari melupakan bahwa Mbah Kado berkali-kali mangkir dari panggilan Komisi itu? Tentu mereka semua melakukan itu semua dengan sadar. Inilah yang disebut standar ganda. Hanya karena ngebet kuasa, lalu berpikir dan bertindak tidak adil.
Standar ganda itu cara berpikir dan bertindak khas Paman Somse. Di Indonesia, ini khas Taksebul dan jaringan-jaringannya. Mereka dengan mesin media di Kempes, Tempe, dan Metromini, meracuni publik akhir-akhir ini. Standar ganda itu, ibaratnya menyatakan, eek orang lain rasanya tidak enak, tapi eek sendiri enak rasanya. Padahal sama-sama eek.
Standar ganda lainnya dari kubu Damarwulan adalah tentang ketidakhadiran Maknyak Kabau pada ritual kebangsaan tempo hari. Mereka masih saja membela, Maknyak wajar saja tak hadir karena masih dendam dengan ki Lurah, dan itu manusiawi. Mereka bilang, Maknyak dendam kesumat seperti dalam film-film Suzana karena dikhianati Ki Lurah. Pertanyaanya, apa Maknyak waktu itu tidak memperbolehkan Ki Lurah bertanding memperebutkan posisi nomer satu? Jika jawabnya iya, berarti Maknyak tidak paham demokrasi. Lebih dari itu, Maknyak merasa bahwa hanya dia yang berhak jadi pemimpin. Pantes saja, di PT Kandang Kerbau, posisi Maknyak abadi tak tergantikan.
Orang-orang yang membela Maknyak dengan alasan dendam karena dikhianati itu, rupanya menyembunyikan fakta bahwa Maknyak mengkhianati Raja Sarungan. Sang Raja didongkel di tengah jalan. Ingat, di tengah jalan, bukan melalui pemilihan di akhir jabatan. Ingatlah bagaimana Maknyak dingin dan kasar terhadap Raja Sarungan di saat-saat pendongkelan itu. Jika ada yang saat ini membenarkan tindakan Maknyak waktu itu, pastilah dia pengikut Cak Kardus yang hobi duren, yang sekarang ikut ngintil Maknyak kemana-mana.
Ini lagi-lagi standar ganda. Ki Lurah mengalahkan dia dalam pertandingan resmi dianggap mengkhianati, sementara dia mendongkel Raja Sarungan di tengah jalan, dengan kongkalikong partai dan prajurit, tidak mau mengakui berkhianat. Standar ganda ketiga adalah bagaimana kubu Damawulan memperlakukan media. Wartawan yang jernih pasti menyimpulkan pada saat pemilu, sebagian besar media brengsek dan jadi alat politik. Tapi aktifis KURAP kubu Damarwulan hanya serang yang tidak pro Damarwulan. Ini tentu berbeda dengan pandangan mereka mengenai netralitas pada zaman-zaman dulu.
Ini bisa dimaklumi, karena mereka sendiri juga aktif jadi jurkam dab jurcot Damarwulan, baik resmi maupun tak resmi, baik berbayar maupun sukarela. Saking aktifnya mereka jurkam dan jurcot di sosmed, wartawan yang tidak dapat THR dari tempat kerjanya tidak dibela lagi oleh aktifis-aktifis KURAP. Alasannya, karena bos media yang tidak kasih THR itu adalah jurcot berbayar Damarwulan. Coba renungkan, apa iya kubu Damarwulan pro buruh? Atau jangan-jangan pro butuh? Artinya bersikap sesuai kebutuhan saja?
Masih banyak lagi standar ganda kubu Damawulan. Yang jelas-jelas di depan mata tentu laporan keuangan Damarwulan yang tidak mengikutsertakan harta yang disetor anaknya di perusahaan patungan dengan Mbah Welut. Apa iya, anak Damarwulan punya harta puluhan milyar dan lebih banyak dari bokapnya? Jawabnya hanya dua: diberi oleh ayahnya atau diberi oleh Mbah Welut. Jika diberi oleh ayahnya, berarti Damarwulan telah berbohong dengan mengaku kere. Istilah kerennya adalah sumaker (sugih macak kere). Jika diberi oleh Mbah Welut, berarti Damarwulan sebagai pejabat publik tidak bersih. Bisa saja ini dianggap suap, agar Damarwulan bisa disetir. Asal-usul duitnya juga patut diselidiki. Jika ada bau sabun bisa saja duit itu bersumber dari pencucian uang.
Mereka berkoar-koar soal laporan keuangan orang lain, tapi terhadap Damarwulan mereka tutup mata. Pokoknya apapun yang ada di Damarwulan wangi, termasuk kentutnya. Lagi-lagi standar ganda. Sebentar lagi, jika kasus odong-odong berkarat itu benar-benar mengena ke Damarwulan, mereka pasti bilang ini kasus rekayasa. Standar gandanya makin keliatan. Mereka sekarang mencoba menghapus jejak di Google bahwa Damarwulan mungkin tak kenal Bemper. Padahal, Bemper ini dulu kemana-kemana ya sama Damarwulan. Cuma di tempat tidur dan waktu eek saja mereka gak bareng-bareng. Mau ngeles kayak apapun, tetap ketahuan kalo mereka ini satu komplotan. Itulah cerita-cerita tentang standar ganda Damarwulan. Standar-standar ganda yang lain, silakan cari sendiri. Kalo maunya dipisah-pisah : standar (motor) dan (kunci) ganda, cari saja di Pasar Senen.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar